Pelaku Ledakan Masih Buron, Ketegangan Politik di Sri Lanka Meningkat

Pelaku Ledakan Masih Buron, Ketegangan Politik di Sri Lanka Meningkat

Sebelumnya, hanya sedikit orang Barat yang kemungkinan dapat menemukan Sri Lanka di peta, atau bahkan tidak ingat nama kolonial Inggrisnya, Ceylon. Tetapi negara Samudra Hindia itu melintas di layar berita selama akhir pekan Paskah, dengan serangkaian pengeboman yang sangat canggih dan mematikan di seluruh negara kepulauan yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa itu. Mengapa ISIS menyerang minoritas Kristen, ketika kaum nasionalis Buddha Sinhala radikal-lah yang telah melakukan kekerasan terhadap kaum Muslim di Sri Lanka? Sifat canggih serangan tersebut serta penargetan gereja dan bukannya kuil Buddha, menjadi satu alasan untuk menyimpulkan bahwa ada tangan asing yang terlibat. Pada November 2016, Menteri Kehakiman Sri Lanka mengumumkan kepada Parlemen bahwa 32 penduduk setempat dari empat keluarga telah bergabung dengan ISIS. Mengingat ikatan menteri tersebut dengan beberapa wali agama Buddha yang anti-Muslim, klaimnya dengan cepat disebut sebagai oportunistik—bahkan rasis. Namun, sejak itu, bukti yang kredibel telah mendukungnya. Sementara itu, ISIS telah mengklaim bertanggung jawab atas pengeboman Minggu Paskah yang mematikan yang menewaskan sekitar 360 orang, termasuk hampir 40 orang asing. ISIS—sebuah organisasi yang inovatif secara global, sangat mematikan, dan berkemampuan finansial. Walau Barat telah mampu menekan teritori ISIS, dan secara efektif menjatuhkan kekhalifahan geografisnya di Irak dan Suriah, namun ISIS telah berubah menjadi organisasi berbasis internet yang terus melakukan serangan yang sangat canggih dan membangun kelompok-kelompok di seluruh dunia. Peta global yang menunjukkan serangan yang terinspirasi atau dilakukan oleh ISIS sangat mengejutkan dan jauh melampaui apa pun yang telah dilakukan al-Qaeda. Dan, tidak diragukan, ISIS akan terus melakukan serangan mematikan, berupaya dari waktu ke waktu untuk memperoleh senjata pemusnah massal—kimia, biologi, radiologis, dan dunia maya. Bahkan ketika AS telah mulai berpaling dari operasi kontraterorisme untuk menghadapi tantangan baru dari China dan Rusia, ISIS tidak memiliki niat untuk menghentikan operasi meskipun kehilangan wilayahnya. Jadi pertanyaannya tetap, bagaimana Amerika dan sekutu-sekutunya mengatasi ancaman yang sedang berlangsung ini, dan mengakui—seperti yang dilakukan Strategi Keamanan Nasional AS terbaru—bahwa lebih banyak sumber daya harus dikhususkan untuk potensi konflik “berkualitas tinggi” dengan pesaing terdekat seperti China dan Rusia. Agar dapat berurusan secara efektif dengan kelompok yang semakin ambisius ini dan strategi berbasis internet mereka yang baru muncul, kita akan membutuhkan tiga upaya utama. Yang pertama adalah terus menginternasionalkan perjuangan melawan ISIS. Koalisi melawan ISIS memiliki lebih dari 70 negara dan organisasi internasional yang berpartisipasi pada satu tingkat atau lebih, dan merupakan warisan pemerintahan Obama yang diambil oleh tim Trump. Sayangnya, perancang utamanya—pensiunan Jenderal John Allen dan diplomat Brett McGurk—keduanya telah disingkirkan oleh Trump. Terkait teror bom Sri Lanka, pakar terorisme mengatakan, modusnya terlalu serupa dengan teroris global seperti ISIS atau al Qaeda. National Thowheeth Jama’ath, oleh pemerintah Sri Lanka dianggap sebagai pelaku rangkaian bom bunuh diri hari Minggu Paskah lalu. Anne Speckhard, Direktur International Center for the Study of Violent Extremism, membandingkan serangan gerilyawan Tamil dengan serangan yang dikaitkan dengan National Thowheeth Jama’ath. Berbeda dengan serangan teror bom hari Minggu (21/4), katanya, serangan yang terjadi selama perang sipil merupakan bagian dari gerakan nasionalis atau etnis separatis, dan umumnya tidak memiliki target agama. “Serangan-serangan ini tampaknya sangat berbeda,” katanya, “dan tampak seolah-olah mereka dilakukan oleh ISIS, Al Qaeda, khas militan jihadis global, karena ini adalah serangan yang memicu kebencian agama dengan menyerang beberapa gereja pada hari raya keagamaan.” National Thowheeth Jama’ath merupakan sekelompok kecil Muslim muda yang beringas, yang pertama kali berdiri setidaknya tiga tahun lalu di Sri Lanka timur, jauh dari pantai barat dan selatan yang lebih kosmopolitan di negara itu. Hingga bulan April 2019, kelompok itu secara umum dianggap anti-Buddha, menurut para pakar kontraterorisme. Kelompok-kelompok Islam radikal seperti Al-Qaeda juga memiliki pengalaman dalam mengorganisir dan melakukan serangan bunuh diri secara simultan, terutama di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Hubungan lokal dengan kelompok-kelompok seperti itu mungkin telah diperkuat dalam beberapa tahun terakhir oleh umat Muslim Sri Lanka yang melakukan perjalanan untuk berperang di Suriah dan Irak, menurut Sameer Patil, peneliti keamanan nasional di Gateway House, kelompok riset kebijakan luar negeri di Mumbai, India. Dengan ISIS baru-baru ini kehilangan kantung wilayah terakhirnya di Suriah, para pejuang asing kelompok itu sekarang lebih mungkin untuk pulang ke Sri Lanka dan negara-negara lain. “Hanya masalah waktu sebelum serangan semacam itu akan menghantam tanah air mereka sendiri,” tutur Patil. Scott Stewart, wakil presiden analisis taktis di Stratfor, perusahaan konsultan geopolitik yang berbasis di Austin, Texas, mencatat bahwa para pelaku serangan itu sukses besar bagi sebuah kelompok tanpa rekam jejak serangan skala besar. Bukti awal menunjukkan bahwa ketujuh rompi bunuh diri itu berhasil diledakkan. Hal itu jelas mengkhawatirkan bagi lembaga penegak hukum. Upaya awal oleh kelompok-kelompok ekstremis kecil yang tumbuh di dalam negeri biasanya ditandai dengan beberapa tingkat kegagalan. Beberapa bom gagal meledak sepenuhnya, sedangkan yang lainnya meledak lebih awal atau lebih lambat, atau bahkan menyebabkan efek ledakan yang lebih kecil daripada yang diinginkan. Stewart berargumen bahwa siapa pun yang merancang rompi bunuh diri yang digunakan dalam ledakan hari Minggu Paskah (21/4) menunjukkan keahlian yang cukup baik. Foto-foto menunjukkan bahwa para pembuat bom memiliki akses ke banyak bahan peledak keluaran militer. Serangan itu telah diklaim dilakukan oleh ISIS, yang mengunggah video-video para pelaku bom bunuh diri yang bersumpah kesetiaan mereka kepada ISIS di saluran berita resmi mereka, Amaq. Sumber-sumber intelijen mengatakan bahwa Zahran Hashim adalah konspirator utama dan pelaku bom utama dalam serangan itu. Mereka juga mengidentifikasi Imsath Ahmed Ibrahim dan adiknya Ilham, sebagai dua pelaku bom bunuh diri lainnya. Mereka masih berusaha mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri lainnya yang berpartisipasi dalam serangan terkoordinasi terhadap tiga gereja dan tiga hotel di Kolombo dan kota-kota lain pada Minggu Paskah (21/4). Nama Zahran Hashim muncul dalam penyelidikan yang dilakukan oleh National Investigation Agency (NIA) India, ketika mereka mengamati kegiatan ISIS di negara bagian selatan India, Tamil Nadu. Negara bagian ini memiliki hubungan historis dengan Sri Lanka, yang memiliki 16 persen populasi minoritas Tamil. Interogasi terhadap salah satu “simpatisan” ISIS pada bulan September dan Desember tahun lalu, mengarahkan para penyelidik pada Zahran Hashim. Setelah berbulan-bulan bekerja, India menyampaikan temuan mereka kepada para pejabat intelijen Sri Lanka pada tanggal 4 dan 11 April, tepat sebelum serangan tersebut. Kegagalan para pejabat intelijen untuk bertindak segera dan bertanggung jawab atas peringatan itu—dan memperingatkan perdana menteri dan kabinet—sekarang menjadi subjek pengawasan yang serius. Zahran Hashim dan anggota National Thowheeth Jama’ath (NTJ) lainnya telah diawasi dengan ketat. Para pejabat di kedua negara dilaporkan tahu bahwa NTJ telah menimbun senjata dan bahan peledak, dan bahwa Hashim dan para pengikutnya sedang merencanakan serangan bunuh diri terhadap gereja. Tetapi peringatan India itu hanya dibagikan dengan polisi yang bertanggung jawab atas “keamanan VIP”, menurut laporan New York Times, yang mencatat bahwa Presiden Maithripala Sirisena—yang bertanggung jawab atas urusan keamanan dan telah berseteru dengan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe—telah gagal memberikan “jawaban yang memuaskan tentang mengapa dinas keamanan tidak berbuat lebih banyak untuk menggagalkan para pelaku bom.” Sirisena telah menunjuk sebuah komite untuk menyoroti masalah-masalah itu. Ketegangan politik di Sri Lanka meningkat pasca-tragedi bom pada hari Paskah pada Minggu (21/4/2019) lalu. Terjadi gesekan di kalangan elite politik negara Asia Tengah ini terkait dengan penanganan aksi bom yang menewaskan 359 orang dan melukai 500 orang tersebut. Kubu Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, menuduh Presiden Maithripala Sirisena dan para pejabat kabinet dengan sengaja menahan informasi penyerangan yang terjadi di tiga gereja, empat hotel di Kolombo, dan satu rumah di pinggiran Kota Dematagoda itu. Demikian dilaporkan Aljazeera, Kamis (25/4/2019). Wickremesinghe dan Sirisena bekerjasama memenangkan Pemilihan Umum 2015 untuk menumbangkan presiden petahana Mahinda Rajapaksa. Namun, setelah itu, hubungan keduanya justru memburuk. Pada Oktober 2018, Sirisena berusaha mencoba memecat Wickremesinghe hingga memicu krisis konstitusi di negara tersebut. Presiden juga meminta Sekretaris Pertahanan, Hemasiri Fernando, dan sejumlah petinggi kepolisian mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara itu, parlemen telah menyetujui undang-undang darurat yang memberikan kuasa penuh kepada militer untuk melakukan penangkapan dan penahanan kepada pelaku yang mengacam sistem keamanan negara. Suhu politik kian memanas setelah terjadinya aksi bom di sejumlah tempat di Sri Lanka, juga terkait kesimpang-siuran informasi intelijen mengenai hal ini. Sejumlah pejabat tinggi intelijen dituding sengaja menyembunyikan informasi tentang serangan tersebut. “Informasi ada di sana, tetapi para pejabat keamanan tingkat tinggi tidak mengambil tindakan yang tepat,” sebut Menteri Perusahaan Publik, Lakshman Kiriella, dilansir Reuters. Kiriella menambahkan, informasi serangan di Hari Paskah itu telah diterima dari intelijen India pada 4 April 2019, kemudian terungkap dalam pertemuan Dewan Keamanan yang dipimpin oleh Presiden Sirisena pada 7 April 2019. Namun, informasi itu tidak dibagikan lebih luas. Adapun Menteri Negara Pertahanan Sri Lanka, Ruwan Wijewardene, mengakui ada “penyimpangan besar” atas pemberitahuan intelijen tentang serangan Paskah. “Jika berbagi informasi intelijen telah diberikan kepada orang yang tepat setidaknya ini bisa dihindari atau bahkan diminimalkan,” tukasnya, dikutip dari Aljazeera. Menanggapi sejumlah tudingan tersebut Presiden Sirisena menegaskan bahwa dirinya dan pemerintah siap menunjukkan pertanggungjawaban atas insiden yang telah terjadi. Serangan bom di hari Paskah itu telah menewaskan sedikitnya 359 orang, termasuk 38 warga asing, dan melukai 500 orang. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: